Thursday, 9 February 2012

Tokoh Sejarah Kota Medan

Guru Patimpus

Guru Patimpus adalah seorang Karo bermarga Sembiring Pelawi. Guru Patimpus dikenal sebagai pendiri Kota Medan. Berikut adalah sejarah singkat Perjalanan Guru Patimpus yang berasal dari
daerah dataran tinggi Karo, hingga akhirnya mendirikan desa yang bernama Medan:
Di Monumen Guru Patimpus Tertulis Jelas Marga Sembiring Pelawi dan Bukan Marga Lain
Guru Pa Timpus dilahirkan di Aji Jahe salah satu kampung di Taneh Karo Simalem yang sejuk, dingin, nyaman dengan angin pegunungannya. Ia menikah di Batu Karang dengan beru Bangun, mendirikan kampung di Perbaji dan memiliki seorang anak laki-laki bernama Bagelit. Guru Pa Timpus bertubuh kekar, tinggi, gagah, dan berjiwa patriotik seperti seorang panglima. Ia juga seorang Guru, yang dalam bahasa Karo berarti seorang ahli dalam berbagai ilmu pengetahuan, ilmu obat-obatan, ilmu gaib, dan memiliki kesaktian, namun Ia-nya berjiwa penuh kemanusiaan lemah lembut dalam bertutur kata, mempunyai karakteristik yang simpatik, berwibawa, berjiwa besar dan pemberani.
Dengan menuruni lembah-lembah yang penuh mistis, hutan semak belukar dan binatang buas, ia mendaki lembah-lembah yang terjal dan curam, dengan menelusuri aliran Lau Petani menuju ke satu bandar di hilir sungai Deli untuk suatu tujuan yaitu mencoba ilmu kesaktiannya dan belajar pada Datuk Kota Bangun seorang Guru dan Ulama besar yang terkenal pada masa itu.
Setelah beberapa lama bermukim ia kawin dengan seorang putri dari pulau Brayan keturunan anak panglima Deli, bermarga Tarigan dan sekitar tahun 1590 M, ia membuka dan mendirikan kampung dipertemuan dua buah sungai Deli dan Babura yang dinamainya dengan ‘Medan’, dari perkawinannya ini lahirlah salah seorang putra yang diberinya nama Hafis Muda, dari sinilah silsilah keturunan Datuk Wajir Urung 12 Kuta (Datuk Hamparan Perak), keturunan terakhir dari Generasi ke-XV adalah Datuk Adil Freddy Haberham, SE sebagai salah seorang Datuk 4 suku dikesultanan Deli.
Guru Pa Timpus telah menjadi milik Masyarakat Kota Medan. Ia berjiwa Nasionalis dibuktikan dengan tidak dicantumkannya Marga Sembiring Pelawi pada Dirinya dan Anak Cucu Keturunannya.
Pemko Medan telah memberikan penghargaan terhadap Guru Pa Timpus, yaitu dengan ditetapkannya Hari Jadi Kota Medan pada tanggal 1 Juli 1590 dan kemudian memberikan nama kepada salah satu jalan di petisah dengan nama jalan Guru Pa Timpus.
Apa yang telah dilakukan Guru Pa Timpus adalah merupakan salah satu sejarah bangsa Indonesia yang tak ternilai harganya, corak dan peninggalan sejarahnya telah memberikan warna khas kepada kebudayaan bangsa, serta hasil pembangunan yang mengandung nilai perjuangan, kepeloporan yang merupakan kebanggaan nasional ini, perlu terus digali dan dilestarikan, dipelihara, serta dibina untuk memupuk semangat perjuangan dan cinta tanah air. Perencanaan Pembangunan disemua tingkatan haruslah diperhatikan pelestariannya, apalagi pelestarian bangunan benda yang mengandung nilai sejarah bertitik tolak dari keagungan Jiwa Guru Pa Timpus.

Tjong A Fie

Tjong Fung Nam yang lebih populler dengan nama gelarnya dengan Tjong A Fie dilahirkan tahun 1860 di desa Sungkow daerah Moyan atau Meixien dan berasal dari suku Khe atau Hakka. Ia berasal dari keluarga sederhana, ayahnya yang sudah tua memiliki sebuah toko kelontong. Bersama kakaknya Tjong Yong Hian, Tjong A Fie harus meninggalkan bangku sekolah dan membantu mejaga toko ayahnya. Walaupun hanya mendapatkan pendidikan seadanya, tetapi Tjong A Fie ternyata cukup cerdas dan dalam waktu singkat dapat menguasai kiat-kiat dagang dan usaha keluarga yan dikelolanya mendapat kemajuan. Tapi, Tjong A Fie rupanya mempunyai suatu cita-cita lain, ia ingain mengadu nasib di perantauan untuk mencari kekayaan dan menjadi manusia terpandang. Tekad inilah yang mendorongnya meninggalkan kampusng halamannya dan pergi ke Hindia Belanda.
Tjong A fie
Tjong A fie
Dalam usia 18 tahun dengan berbekal 10 dolar perak uang Manchu yang diikatkan ke ikat pinggangnya, Tjong A Fie meninggalkan kampung halamannya, menyusul kakaknya Tjong Yong Hian, yang sudah lima tahun menetap di Sumatera. Pada tahun 1880, setelah berbulan-bulan berlakyar dengan Junk, ia tiba di Labuhan Deli. Tjong A Fie adalah seorang yang berwatak mandiri dan tidak mau menggantungkan diri pada orang lain terutama kepada kakaknya, Tjong Yong Hian yang telah menjadi Letnan dan telah berhasil memupuk kekayaan dan menjadi pimpinan orang Tionghoa yang dihormati. Ia kemudian bekerja serabutan di toko kelontong Tjong Sui Fo dari memegang buku, melayani langganan di toko, menagih utang dan tugas-tugas lainnya. Ia juga pandai bergaul, bukans aja dengan sesama orang Tionghoa, tetapi dengan orang Melayu, Arab, India, maupun orang Belanda. Ia juga belajar bercakap-cakap dengan bahasa Melayu yang menjadi bahasa pergaulan yang dipakai oleh berbagai macambangsa di tanah Deli.
Tjong A fie Medan
The Tjong A Fie Memorial Institure
Open to Public: 18 June 2009 – 18 August 2009
Tjong A Fie tumbuh menjadi sosok yang tangguh, Peranan Tjong A Fie dalam Pembangunan di Sumatera menjauhi candu, perjudian, mabuk-mabukan dan pelacuran. Ia menjadi teladan dan menampilkan watak kepemimpinan yang sangat menonjol. Ia sering menjadi penengah jika terjadi perselisihan di antara orang Tionghoa atau dengan pihak lainnya. Di daerah perkebunan yang juga sering terjadi kerusuhan di kalangan buruh perusahan Belanda yang kadang-kadang menimbulkan kekacauan . Karena kemampuannya, Tjong A Fie kemudian diminta Belanda untuk membantu mengatasi berbagai permasalahan. Ia kemudian diangkat menjadi Letnan (liutenant) Tionghoa dan karena pekerjaannya tersebut ia pindah ke kota Medan. Karena prestasinya yang luar biasa, dalam waktu singkat pangkatnya dinaiikan menjadi Kapten (Kapiten).
Tjong A fie Medan1
The Entertaining Hall
Di tanah Deli, Tjong A Fie mempunya pergaulan yang luas dan terkenal sebagai pedagang yang luwes dan dermawan, Ia kemudian membina hubungan yang baik dengan Sultan Deli, Makmoen Al Rasjid Perkasa Alamsjah dan Tuanku Raja Moeda. Atas kesetiakawanan yang tinggi, maka Tjong A Fie berhasil mengjadi orang kepercayaan Sultan Deli dan mulai menangani beberapa urusan bisnis. Dengan demikian ia memperoleh reputasi yang baik dan terkenal di seluruh Deli. Ia terkenal baik di kalangan pedagang maupun orang Eropa, serta pejabat pemerintah setempat. Hubungan yang baik dengan Sultan Deli ini  menjadi awal sukses Tjong A Fie dalam dunia bisnis. Sultan memberinyakonsesi penyediaan atap daun nipah untuk keperluan perkebunan tembakau antara lain untuk pembuatan bangsal.
Tjong A Fie menjadi orang Tionghoa pertama yang memiliki perkebunan tembakau. Ia juga mengembangkan usahanya di bidang perkebunan teh di Bandar Baroe, di samping perkebunan teh si Boelan. Ia juga memiliki perkebunan kelapa yang sangat luas. Di Sumatera Barat ia menanamkan modalnya di bidang pertambangan di daerah Sawah Luntoh, Bukit Tinggi.
Bersama kakaknya Tjong Yong Hian, Tjong A Fie bekerjasama dengan Tio Tiaw Siat alias Chang Pi Shih, paman sekaligus konsul Tiongkok di Singapura mendirikan perusahaan kereta api The Chow-Chow & Swatow Railyway Co.Ltd. di daerah Tiongkok Selatan yang menghubungkan kedua kota tersebut. Untuk jasanya mereka sempat beraudiensi dengan ibu suri Tsu Hsi.
Tjong a fie mansion medan1
The various rooms
Ketika Tjong Yong Hian meninggal dunia tahun 1911, Tjong A Fie diangkat mengjadi penggantinya dan pangkatnya dinaikkan menjadi mayor. Sepanjang hidupnya ia banyak berbuat sosial dan senang menolong orang miskin. Tjong A Fie adalah tokoh pembangunan di Sumatera Utara. Sepanjang hidupnya selama di Medan telah banyak menyumbangkan hartanya untuk kepentingan sosial dengan membangun sarana-sarana untuk kepentingan umum dan menolong orang miskin tanpa membedakan warna kulit, suku dan agama dan golongan bangsa seperti yang tersurat dalam wasiatnya.
Kedermawanan dan kepedulian sosial yang masih terlihat hingga saat ini adalah Titi Berlian (jembatan di kampong Madras) yang dibangun untuk menghormati abangnya Tjong Yong Hian sekaligus untuk kepentingan masyarakat luas. Tjong A Fie juga membangun klenteng, masing-masing di Jl.Kling (dulunya di Klingenstraat)dan Pulo Brayan. Ia juga menyediakan tempat pemakaman di Pulo Brayan dan mendirikan perkumpulan kematian yang bertugas untuk merawat pasien berpenyakit lepra di Pulau Sicanang. Rasa Hormatnya kepad aSultan Deli, Makmoen Al Rasjid dan penduduk Islam Medan, diwujudkan dengan mendirikan Mesjid Raya Medan dengan menyumbang sepertiga dari seluruh biaya pembangunannya.
Tjong A Fie juga membiayai seluruh biaya pembangunan mesjid Gang Bengkok di dekat tempat kediamannya di Jalan Kesawan, Di kota Medan bahkan di seluruh Sumatera Timur Tjong A Fie sangat terkenal karena kedermawanannya. Banyak sekolah yang mendapat bantuannya. Baik sekolah Kristen, Islam maupun sekolah Tionghoa. Ia juga menyediakan tanah untuk pembangunan sekolah Methodist di Medan. Tjong A Fie bukan hanya memberi sumbangan pada berbagai klenteng, mesjid dan gereja, tetapi juga kuil-kuil HIndu tempat beribadah orang-orang India. Di Jembatan Berlian juga terdapat prasasti yang mencantumkan nama Tjong A Fie sebagai penyumbangnya, demikian juga jam besar di puncak gedung Balai Kota yang lama adalah sumbangannya. Di Klengteng Kek Lok Si di Ayer Itam, Penang sampai sekarang masih berdiri patung Tjong A Fie. Demikian terkenalnya Tjong A Fie sebagai dermawan, sehingga untuk beberapa waktu lamanya di kota Medan dan Tebing Tinggi ada satu jalan identik dengan namanya.
Sebagai pemimpin masyarakat Tionghoa, Tjong A Fie sangat dihormati dan disegani, karena ia pandai memadukan kekuatan ekonomi dan kekuatan politik. Kerajaan bisnisnya meliputi perkebunan, pabrik minyak sawit, pabrik gula, bank dan perusahaan kereta api. Pada masa sebelum ia  meninggal dunia, lebih dari 10.000 orang yang bekerja di berbagai perusahaannya. Dengan rekomendasi Sultan Deli, Tjong A Fie menjadi anggota gemeenteraad (dewan kota) dan cultuurraad (dewan kebudayaan). Ia juga lalu diangkat sebagai penasehat pemerintah Hindia Belanda untuk urusan Tiongkok.
Ketika masih di kampungnya di daratan Tiongkok, Tjong A Fie telah menikah dengan Nona Lee. Kemudian, ketika di Labuhan Deli ia menikah dengan Nona Chew dari Penang dan mempunyai tiga orang anak: Tjong Kong Liong, Tjong Song-Jin dan Tjong Kwei-Jin. Istri keduanya ini kemudian meninggal dunia. Untuk ketiga kalinya ia menikah dengan Lim Koei Yap yang lahir tahun 1880 di daerah Timbang Langkat, Binjai. Mertuanya ini adalah kepala mandor perkebunan tembakau di Sungai Mencirim yang mengepalai ratusan orang kuli kontrak . Dari Lim Koei Yap ia memperoleh tujuh orang anak: Tjong Foek-Yin (Queeny), Tjong Fa-Liong, Tjong Khian-Liong, Tjong Kaet Liong (Munchung), Tjong Lie Liong (Kocik), Tjong See Yin (Noni) dan Tjong Tsoeng-Liong (Adek).
Tjong A fie bedroom
The Bedroom
Pada 4 Februari 1921, Tjong A Fie meninggal dunia karena apopleksia atau pendarahan otak, di kediamannya di Jalan Kesawan, Medan. Seluruh kota Medan gempar dan turut berkabung, ribuan orang pelayat datang berduyun-duyun bukan saja dari kota Medan, tetapi dari berbagai kota di Sumatera Timur, Aceh, Padang, Penang, Malaysia, Singapura dan Pulau Jawa. Upacara pemakamannya berlangsung dengan megah dan penuh kebesaran sesuai dengan tradisi dan kedudukannya pada masa itu. Karena kedermawanannya, tanpa membeda-bedakan bangsa, ras, agama dan asal-usul, Tjong A Fie telah menjadi legenda dan namanya dikenang oleh penduduk kota Medan dan sekitarnya.
Empat bulan sebelum meninggal dunia, Tjong A Fie telah  membuat surat wasiat di hadapan notaris Dirk Johan Facquin den Grave. Isinya adalah mewariskan seluruh kekayaannya di Sumatera maupun di luar  Sumatera kepada Yayasan Toen Moek Tong yang harus didirikan di Medan dan Sungkow pada saat ia meninggal dunia. Yayasan yang berkedudukan di Medan diminta untuk melakukan limahal. Tiga diantaranya untuk memberikan bantuan keuangan kepada kaum muda yang berbakat dan berkelakuan baik serta ingin menyelesaikan pendidikannya, tanpa membedakan kebangsaan. Yayasan ini juga harus membantu mereka yang tidak memapu bekerja dengan baik karena cacat tubuh, buta, atau menderita penyakit berat. Juga yayasan diharapkan membantu para korban bencana alam tanpa memandang kebangsaan atau etnisnya.

Sisingamangaraja XII

Lahir di Bakkara, Tapanuli, 1849 wafat di Simsim, 17 Juni 1907 dimakamkan di Pulau Samosir


Nama aslinya adalah Patuan Besar Ompu Pulo Batu. Nama Sisingamangaraja XII baru dipakai pada tahun 1867, setelah ia diangkat menjadi raja menggantikan ayahnya yang mangkat. Sang ayah meninggal akibat serangan penyakit kolera.

Februari 1878, Sisingamangaraja mulai melakukan perlawanan terhadap kekuasaan kolonial Belanda. Ini dilakukan untuk mempertahankan daerah kekuasaanya di tapanuli yang dicaplok belanda. Dimulai dari penyerangan pos-pos Belanda di Bakal Batu, Tarutung. Sejak itu penyerangan terhadap pos-pos Belanda lainya terus berlangsung di antaranya sebagai berikut.

  • Mei 1883, pos belanda di Uluan dan Belige diserang oleh pasukan Sisingamangaraja.
  • Tahun 1884, pos Belanda di tangga batu juga dihancurkan oleh pasukan Sisingamangaraja.

Tahun 1907, belanda berhasil memperkuat pasukan dan persenjataan. Kondisi ini membuat pasukan Raja batak ini semakin terdesak dan terkepung. Pada pertempuran yang berlangsung di daerah Pak-Pak inilah Sisingamangaraja XII gugur tepatnya pada tanggal 17 juni 1907. Bersama-sama dengan putrinya (Lopian ) dan dua orang putranya (Patuan Nagari dan Patuan Anggi)

Sisingamangaraja kemudian dimakamkan di Balige dan selanjutnya kembali dipindahkan ke pulau Samosir. Sisingamangaraja dianugerahi gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional berdasarkan SK Presiden RI No.590/1961.
 
Dalam sejarah disebutkan Raja pertama beretnis Batak bernama Raja Makoeta atau Raja Manghuttal bergelar Sisingamangaraja I yang berkuasa sekira tahun 1550 M. Kekuasaannya hingga ke Aceh dan Minangkabau. Sisingamangaraja I merupakan kemenakan Raja Uti, penguasa Barus. Raja Makoeta merupakan Panglima Raja Uti ketika melawan Portugis yang hendak menguasai Barus.
Sisingamangaraja I itu mendirikan kerajaan baru berpusat di Bakkara. Antara Barus dan Bakkara terjadi hubungan persahabatan yang erat. Itu ditandai dengan dibuatnya jalan menghubungkan kedua kerajaan itu.
Profesor Uli Kozok pernah menambahkan, bahwa Raja Sisingamangaraja XII bukan beragama Islam, Kristen maupun Parmalin. Melainkan beragama Batak asli.
“Selama ini banyak kontroversi yang terjadi di tengah masyarakat tentang agama yang dianut Sisingamangaraja XII. Ada yang mengatakan dia beragama Kristen, Islam. Bahkan tidak sedikit yang menyebut beragama Parmalin yang menurut sebagian orang merupakan agama aslinya orang Batak,”
Sisingamangaraja
Ahli sejarah berkebangsaan Jerman itu, menyebutkan, Parmalin bukanlah agama asli orang Batak. Parmalin merupakan agama kombinasi atau perpaduan dari agama Islam dan Kristen.
Ketika agama Parmalin berkembang di Tanah Batak, Sisingamangaraja XII sendiri sudah berada di Dairi dalam pengungsian menghindari serbuan-serbuan dari tentara Belanda. “Jadi agama Sisingamangaraja XII adalah Batak asli yang usianya jauh lebih tua dari agama Parmalin,” katanya.
Mengenai bukti-bukti otentik yang ditunjukkan dalam stempel Sisingamangaraja XII yang menggunakan aksara campuran Batak Mandailing Angkola, Arab Melayu dan Kawi juga tidak membuktikan bahwa ia telah memeluk agama Islam.
Surat Kabar Belanda Algemcene Handeslsblad pada edisi 3 Juli 1907, menuliskan,:
“Menurut kabar dari pendudukan, sudahlah benar raja yang sekarang (maksudnya Sisingamangaraja) semenjak lima tahun yang lalu telah memeluk Islam. Tetapi dia bukanlah seorang Islam yang fanatik, demikian pula dia tidak menekan orang-orang di sekelilingnya menukar agamanya”
Sementara, Surat rahasia kepada Departement van Oorlog, Belanda, Letnan L. van Vuuren dan Berenshot pada tanggal 19 juli 1907 menyatakan, :
“Dat bet vaststaatdat de oude S .S. M. Met zijn zonns tot den Islam waren over gegaan, al zullen zij wel niet Mohamedan in merg en been geworden zijn”
“Bahwa sudah pasti S. S. M. yang tua dengan putra-putranya telah beralih memeluk agama Islam, walaupun keislaman mereka tidak seberapa meresap dalam sanubarinya”
Sebagai seorang yang mengklaim dirinya penguasa di Tanah Batak, sudah selayaknya Sisingamangaraja XII memiliki sebuah stempel sebagai lambang kebesarannya dan wajar saja jika dia menggunakan aksara Arab Melayu dalam stempelnya kerena saat itu Bahasa Melayu sudah menjadi bahasa pengantar di Sumatera.
stempel sisingamangaraja

“Ahu sasap tangan sisingamangaraja sian bakara”
Inilah Cap Maharaja di negeri Toba kampung Bakara nama kotanya. Hijrah Nabi 1304
Raja Sisingamangaraja XII tewas tertembak dalam pertempuran melawan tentara kolonial Belanda di Dairi pada awal abad XX. Pahlawan legendaris dari Toba itu tanpa sengaja melanggar pantangannya sendiri, kepercikan darah anak perempuan nya, Lopian, yang tertembak pasukan marsose Belanda, pimpinan Kapten Christoffel. Lopian, anak kesayangan baginda, merupakan srikandi yang terus mendampingi ayahnya bertempur melawan Belanda. Kapten Christoffel menyerukan pada baginda untuk menyerah, tapi Sisingamangaraja memilih untuk mati. Lopian, gadis remaja yang pemberani itu ternyata hanya mendapat luika ringan. Tapi pasukan marsose bertindak keji. Setelah tertawan, gadis yang gagah berani itu kemudian dibunuh dan mayatnya dilemparkan ke Sungai Pancinoran di kaki gunung Batu Gajah. Sejak peristiwa tragis itu posisi Raja Sisingamangaraja tidak pernah terisi lagi.
Berdasarkan cerita-cerita sejarah, Raja Diraja Tanah Batak yang bergelar Sisingamangaraja sebelum jatuh ke tangan marga Sinambela, terlebih dulu untuk satu generasi di tangan seorang bermarga Simanulang. Sedangkan sebelumnya untuk 8 generasi berada di tangan garis lurus dari Tuan Serba Dibanua, Sori Mangaraja dan seterusnya. Untuk masa sebelumnya di zaman yang silam, tidak diketahui sama sekali. Nama Sisingamangaraja punya makna tersendiri. “Si” bukan sama nilainya dengan si polan, si anu tapi berarti poros, pusat atau inti. “Singa” juga bukan binatang buas asal Afrika, namun berarti konstruksi, kerangka atau bagan. “Manga” berarti maha, agung atau besar. Sedangkan makna “Raja” yakni kemampuan dan kewibawaan. Jadi Sisingamangaraja berarti, ”Tampuk kewibawaan agung dari konstruksi tata peradatan TanahBatak”.
Perlu diketahui bahwa kerajaan Raja Sisingamangaraja XII yang diwarisinya dari leluhurnya bukanlah sebuah kerajaan dalam pengertian umum. Secara politik, beliau hanyalah raja negerinya sendiri, negeri Bakkara. Yang menjadikan leluhur Raja Sisingamangaraja XII dan Raja Sisingamangaraja XII sendiri dikenal sebagai “Raja Orang Batak” adalah fungsinya sebagai Imam kepercayaan orang Batak. Kedudukannya dalam percaturan politik Tano Batak dapat dianalogikan seperti kedudukan Kaisar Romawi Suci dalam Kekaisaran Romawi Suci. Hanya saja Raja Sisingamangaraja XII juga memegang jabatan Imam Agama Parmalim, kepercayaan orang Batak di zamannya.
Raja Sisingamangaraja sendiri bukanlah orang Batak yang utuh. Ayahnya Ompu Raja Bona Ni Onan beristerikan adik Raja Uti Mutiraja, penguasa yang bersinggasana di Lambri, Aceh. Adik raja Aceh ini kemudian disapa dengan Si Boru Pasaribu. Ini bermakna diporoskan ke dalam marga Pasaribu. Sebaliknya ibu kandung Raja Uti ini berdasarkan cerita-cerita yang masih perlu ditelusuri kebenarannya adalah bangsawan Jawa yang diprakirakan kerabat dari pendiri Kerajaan Majapahit.
Dari perkawinan Ompu Raja dengan adik Raja Aceh ini lahirlah Raja Mahuta yang kemudian menjadi Raja Sisingamangaraja I. Berdasarkan tarombo (silsilah) ini, Raja Aceh mengakui kekuasaan Raja Sisingamangaraja yang untuk pertama kali menggunakan angka Romawi sampai ke-XII Bukti dari pengakuan ini, Tanah Batak tidak pernah diperangi pasukan Aceh dan bahkan keduanya bersatu dalam perang menghadapi musuh bersama. Tanda keakraban ini ditandai dengan diserahkan cap Sisingamangaraja yang satu bersiku 12 dan satu lagi bersiku 11 dari Raja Aceh. Cap itu bertuliskan huruf Batak di tengah dan huruf Arab di sekelilingnya.
Peluang untuk menjadi Sisingamangaraja XIII masih tetap terbuka bagi siapa saja terutama warga Batak. Akan tetapi ciri khas berupa “lidah berbulu”, kemungkinan hanya turunan Sisingamangaraja yang memiliki keunggulan tersebut. Sedangkan “piso gajah dompak” yang menjadi senjata baginda, pada masa lalu hanya baginda yang dianggap keramat yang mampu mencabutnya. Tapi kini banyak orang yang mampu mengakalinya hingga tercabut.

No comments:

Post a Comment